Hubungi Kami
Tulis Karyamu
Klik di bawah ini agar naskahmu dibaca banyak orang!
*Silakan konfirmasi ke 0859 3225 4105 setelah mengirim naskah
*naskah akan kami upload setelah lolos seleksi
*rutin kirim naskah cerpen (20+ naskah); opini & berita (15+ naskah); puisi (40+ naskah); cerita fabel (25+ naskah); dan diary (20+ naskah) akan mendapatkan voucher diskon penerbitan.

Tulis Cerita Fabelmu

Tulis Cerita Pendekmu

Tulis Puisimu

Tulis Dairymu

Tulis Berita mu
CERITA FABEL
Kiki si Kelinci dan Bulan yang Hilang – Katarina Ebbiena

Di sebuah hutan yang luas, hiduplah seekor kelinci kecil bernama Kiki. Ia dikenal sebagai kelinci yang penuh rasa ingin tahu dan gemar bertualang.
Suatu malam, ketika sedang berbaring di atas rumput sambil menatap langit, Kiki menyadari sesuatu yang aneh. Bulan yang biasanya bersinar terang tiba-tiba menghilang! Langit menjadi gelap gulita, membuat seluruh hutan terasa sunyi dan menyeramkan.
Kiki merasa khawatir. Bagaimana jika bulan tidak pernah kembali? Hutan ini akan selalu gelap! pikirnya. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada bulan.
Kiki pertama-tama pergi menemui Pak Burung Hantu, hewan paling bijak di hutan.
“Pak Burung Hantu, apakah Anda tahu ke mana bulan pergi?” tanya Kiki dengan cemas.
Pak Burung Hantu menggeleng. “Aku tidak tahu, Kiki. Tapi, mungkin Naga Penjaga Langit bisa membantumu. Ia tinggal di puncak Gunung Awan dan mengetahui semua rahasia langit.”
Tanpa membuang waktu, Kiki segera berangkat ke Gunung Awan. Perjalanannya tidak mudah. Ia harus menyeberangi sungai deras, melewati hutan yang gelap, dan mendaki bukit curam. Namun, dengan semangat dan keberaniannya, Kiki terus melangkah hingga akhirnya tiba di puncak gunung.
Di sana, ia bertemu dengan Naga Penjaga Langit, seekor naga besar bersisik berkilauan seperti bintang.
“Naga Penjaga Langit, apakah Anda tahu ke mana bulan pergi?” tanya Kiki penuh harap.
Sang Naga menghela napas panjang. “Bulan sedang sakit, Kiki. Ia jatuh dari langit dan kini terbaring lemah di dasar Danau Cahaya. Satu-satunya cara untuk menyembuhkannya adalah dengan bunga ajaib yang hanya tumbuh di tengah Hutan Mimpi.”
Tanpa ragu, Kiki segera menuju Hutan Mimpi. Perjalanan ke sana penuh tantangan. Ia harus melewati labirin pohon-pohon raksasa dan menghadapi ilusi yang menyesatkan. Namun, dengan kecerdikan dan keberaniannya, Kiki akhirnya berhasil menemukan bunga ajaib itu.
Dengan hati-hati, ia membawa bunga tersebut kembali ke Danau Cahaya dan melemparkannya ke dalam air. Seketika, cahaya terang menyembul dari dasar danau. Perlahan, bulan kembali naik ke langit, bersinar lebih terang dari sebelumnya.
Seluruh hutan bersorak gembira. Kiki tersenyum bangga. Ia telah menyelamatkan bulan! Sejak saat itu, Kiki dikenal sebagai pahlawan kecil yang berani dan tak kenal takut. Setiap malam, saat bulan bersinar terang, Kiki selalu menatapnya dengan senyum bahagia, mengingat petualangan besarnya yang tak terlupakan.
Keberanian, ketekunan, dan keinginan untuk membantu bisa membawa kita mencapai hal-hal besar. Jangan pernah takut mencoba, meskipun rintangan tampak sulit!
Taman Ismail Marzuki, 28 Januari 2025
CERITA PENDEK
Takdir dan kita – Katarina M.
Takdir dan kita
Katarina M.
Arka tahu jika ingin memiliki kisah cinta yang membahagiakan haruslah dimulai dari cinta yang tulus. Bertahun-tahun ia mengincar Anna, bahkan sampai menikah pun cinta Arka tak pernah berubah. Mereka sudah sama-sama menikah dengan orang lain, tapi katanya tak bahagia. Arka merasa bahwa Anna adalah orang yang tepat untuknya. Ia terus menunggu kesempatan itu hadir dalam hidupnya.
Arka tak bisa melupakan Anna. Anna ragu apakah Arka mendekatinya hanya karena nafsu atau cinta. Terkadang, sulit dibedakan. Tapi Arka tak akan pernah menyerah. Ke mana pun Anna pergi. Arka pasti selalu mencari tahu dan mengikutinya. Tahun demi tahun berlalu. Anna pun menikah dengan pilihan hatinya sendiri. Ia menikah demi mengejar usia. Orang tua dan adik-adiknya sering ribut karena Anna lama menikah. Akhirnya setelah bertemu calon suaminya. mereka menikah dan memiliki dua anak.
Arka juga begitu. Tak berhasil mendapatkan Anna, ia juga menikah dengan perempuan yang berbeda negara namun ia tak mempunyai anak dan tampaknya itu disengaja olehnya. Mungkin ia hanya mau memiliki anak jika dengan Anna saja. Segitu cintanya ia dengan Anna, namun Anna tak mempunyai keyakinan akan Arka. Arka bekerja di sebuah perusahaan pertambangan. Kehidupan keluarganya berlangsung biasa-biasa dan tampaknya ia memang tidak bahagia dengan istrinya.
Babak baru tiba ketika puluhan tahun kemudian mereka bertemu. Kadar cinta di hati Arka tak pernah hilang. la tak sanggup melupakan Anna. la sangat yakin bahwa Anna suatu saat akan menjadi miliknya. Entah seperti apa keadaannya, ia tetap mendambakan Anna setiap saat.
“Aku yakin suatu saat kau jadi milikku. Engkaulah wanita yang paling tepat untukku” ujar Arka saat ia menelepon Anna
“Aku sudah menikah. Tak perlu kau bermimpi lagi.” ujar Anna dengan yakin.
“Tapi aku yakin dengan mimpiku. Jadi sebaiknya aku bersabar, aku pasti mendapatkanmu Anna!” jawab Arka dengan senang.
“Tidak mungkin!” balas Anna.
“Selama kita masih hidup dan punya harapan, pasti bisa. Aku tahu kamu juga tidak bahagia. Aku bisa melihatnya, kau pasti akan bahagia jika hanya bersamaku begitu pun aku Anna.” ucap Arka dengan semangat.
“Sok tahu, dan aku ingin tahu kenapa kau selalu ingin denganku sih?” tanya Anna.
“Aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaanku sendiri. Aku yakin itu hanya ada pada dirimu.” ucap Arka.
“Kamu tidak tulus. Pasti karena ada mau busuknya kan?” ucap Anna seenaknya.
“Busuk? Memangnya ada yang mau mengejar-ngejar sesuatu yang busuk? Kamu salah menduga Anna! Aku menyayangimu dengan sangat tulus!” ucap Arka dengan serius.
Anna terdiam mendengarnya.
Kehidupannya berjalan terus. Arka tetap menghubunginya. Andra semakin goyah. Benar apa kata Arka, Anna tidak bahagia dengan rumah tangganya. Suaminya egois dan kaku, la melakukan kekerasan di rumah tangganya membuat Anna sangat tersiksa. Sampai suatu ketika ia harus menerima kenyataan pahit karena suaminya meninggal dalam suatu tugas perusahaan. Ia diutus ke luar daerah dan pesawat yang
ditumpanginya terjatuh. Mungkin itu adalah karma untuknya.
Mengetahui suami Andra meninggal, Arka semakin intensif menceceri Anna. la malah merasa telah menjadi suami Anna. Tapi Anna tetap menolak meskipun Arka sering hadir ke rumahnya. Arka selalu menunjukkan kasih sayangnya.
Namun situasi rumah tangga Arka juga mengalami hal buruk. Istrinya ketahuan selingkuh dengan temannya. Itu sungguh menyakitkan. Akhirnya Arka memutuskan untuk bercerai dengan istrinya. Tekad Arka sudah bulat untuk menikahi Anna karena ia yakin hanya bersama Anna lah ia akan bahagia, begitu pun sebaliknya. Kini Anna tak bisa lagi berkelit, ia akhirnya setuju untuk menikah dengan Arka. Arka sangat bahagia mendengar persetujuan Anna untuk menikah dengannya. Keyakinannya bahwa Anna adalah jodohnya tidak sia-sia selalu ada harapan untuk doa-doa dan cinta yang tulus.
Di sisi lain Anna juga masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menemukan kebahagiaan sejati karena cinta suci yang tak bersyarat. Tuhan seakan menghapus kepahitan dan kesengsaraan Anna dengan menghadirkan Arka dalam hidupnya.
Jakarta, 30 September 2024
“Cinta sejati adalah doa yang tak terucap, ia berdiam dalam hati, meresap dalam setiap helaan napas. Seperti Arka yang setia menanti, cinta yang tulus tak pernah usang dimakan waktu. Pada akhirnya, cinta akan kembali kepada mereka yang tak lelah menunggu, dengan jiwa yang penuh keyakinan, dan hati yang tanpa syarat.”
Katarina M.
Maaf Aku Tak Mencintaimu – Marie Liye
Maaf Aku Tak Mencintaimu
Marie Liye
Cukup lama aku mengenal pria itu. Seorang pria yang humoris dan pekerja keras bernama Adi Abiseka. Ia mencoba-coba untuk jatuh cinta padaku di penghujung usia muda puluhan tahun lalu. Aku hanya mencoba tertarik karena kecerdasannya, namun secara fisik dia bukan tipeku. Tapi, apa dikata, aku terlanjur menerima cintanya walau hatiku menolaknya. Akhirnya semua teruji. Tak sampai setahun, perasaanku mulai pudar dan tertarik pada pria lain.
Dalam setiap kebersamaan, aku perlahan-lahan mempelajarinya. Ternyata Adi pria yang menyenangkan dan berwibawa. Di sekolah ia merupakan seorang ketua osis yang dihormati, ia juga sangat rendah hati dan suka menolong. Ia adalah laki laki panutan di sekolah. Aku saja yang masih bandel. Tidak bisa menyipratkan cinta untuknya. Padahal aku sudah berupaya untuk jatuh cinta, namun tetap senang, aku melihat bagaimana ia sangat ambisius. Saat aku mulai dekat dengan senang, aku melihat ia sangat ambisius untuk memperjuangkan segala sesuatu. la bisa kuliah dan bekerja di waktu yang bersamaan.
Seluruh pekerjaan bisa dibabatnya terkadang tanpa kenal waktu. la mampu mengejar impiannya untuk mengumpulkan fulus demi fulus. Tentu saja dengan pengorbanan waktu dan fisik. Sedikit demi sedikit aku mulai tersisihkan karena mulai sibuk dengan kegiatanku untuk mencari pekerjaan yang lebih baik ke kota lain.
Lalu tiba saatnya, aku harus berpaling ke orang lain bernama Evan. Tidak ada paksaan dan perjanjian. Evan mulai mendekatiku dengan cara memikat perhatian kedua orang tua dan adik-adikku. Mereka semua sudah sangat terpikat dengan Evan dan dia pikir aku pun akan segera takluk padanya. Tapi itu tak mudah. Hatiku langsung patah begitu mendengar Evan bukanlah orang yang sabar dan begitu gampangnya tergoda wanita lain. Jadi, Adi dan Evan pun sama-sama lepas tanpa nada dan bekas. Oh, la, la.
Singkat kata, waktu berlalu dalam bilangan tahun demi tahun. Aku dan Adi tak pernah berkabar sampai suatu saat ia mendapat nomor WhatsApp–ku dari salah seorang adikku. la menghubungiku dengan mengungkap sedetil-detilnya keindahan yang pernah ia rasakan bersamaku. Sebegitu detail dan jelasnya padahal aku sudah nyaris melupakan semuanya. Bahkan ia sangat mengingat waktu pertama kali ia bersusah payah menciumku di tempat yang sebutkan dengan sedetailnya. Wow, betapa la sebenarnya sangat mencintaiku. Setelah tanya kabar sana-sini, akhirnya la berterus terang dan kembali bertanya
“Dina, aku masih sehat, kok. Dengan kekuatan obat” ucap evan setelah aku mengangkat teleponnya.
“Ha? Kekuatan obat? Apa maksudmu?” tanyaku was-was.
“Sudah bertahun-tahun aku didera diabetes” balas Adi santai.
Tiba-tiba aku teringat semua gaya hidup dan cara kerjanya yang menggebu-gebu serta tak kenal istirahat. Itulah sebabnya aku tak perlu mengocehinya lebih dalam lagi.
“Oh begitu, tapi tetap jaga kesehatan, ya. Salam sehat selalu untukmu Adi.”
“Terima kasih. Tapi, Sayang, mengapa tak sedikit pun ada daya ingatmu untuk aku. “Apakah kamu sudah melupakan semua ternyata?”
“Maafkan aku. Aku memang sungguh lupa.”
“Kenapa kita tidak jadian, ya? Kenapa kita tidak menikah? Padahal mama dan adik-adikku sungguh menyukaimu”
Tak ada halangan di antara kami sebenarnya “Itu namanya tidak jodoh saja,” ucapku masih datar. Padahal, dalam hati aku ingin katakan bahwa aku tak pernah mencintainya. Cinta yang dibuat-buat akan terbang seketika tanpa bekas.
“Aku senang dengan pertemuan kita kali ini, walaupun kutahu kenangan kita tak mungkin terulang kembali. Lupakanlah!”
“Maafkan sekali lagi bila semuanya menjadi tidak nyaman dan sesuai dengan harapanmu aku mencoba membuatnya tidak bersedih.
“Tidak apa-apa. Hal terpenting aku telah sampaikan isi hatiku semuanya. Terlepas kamu suka atau tidak. Tapi, aku sudah puas dan tenang.
Seminggu setelah berbicara dengan Adi, aku menerima telepon dari saudara perempuannya.
“Dina, Mas Adi telah berpulang” ucap saudara perempuannya langsung saat aku mengangkat teleponnya.
“Apa?” ucapku tak percaya. Jantungku serasa berhenti berdegup. Tapi ups! Begitulah perjalanan hidup seseorang. Tak pernah bisa diduga garis akhirnya. Cepat atau lambat, semuanya berurusan dengan waktu saja. Aku tak pernah bisa mencintainya, tapi setidaknya aku telah minta maaf untuk cinta yang tak bisa kuberi sebagai seseorang yang istimewa. Ia hanya cocok bagiku sebagai sahabat yang baik. Cukup itu saja. Cermin itu retak, tetapi tetap masih dapat digunakan.
Selamat jalan, sahabatku, Adi Abiseka.
Surga yang indah telah menantimu di alam keabadian bersama sang Pencipta. Aku tak pernah bisa mencintainya, tapi setidaknya aku telah minta maaf untuk cinta yang tak bisa kuberi sebagai seseorang yang istimewa. la cocok bagiku sebagai sahabat yang baik. Cermin retak itu masih tetap bisa digunakan.
15 juli 2024
“Cinta sejati tak selalu ditakdirkan untuk dimiliki, namun saat ia terbenam dalam hati, ia mengubah jiwa menjadi taman kenangan yang abadi. Tak mengapa jika kau tak bersama; kadang, sebuah keikhlasan adalah pelukan terakhir yang paling indah bagi perasaan yang tak pernah sempat dijahit oleh waktu.”
Marie Liye
Vynea dan Pelukis langit – Katarina Ebbiena
Vynea, nama gadis itu. Setiap sore, ia selalu duduk di tepi sungai, menatap langit yang berubah warna seiring dengan terbenamnya matahari. Ia menikmati transisi warna yang perlahan merayap, dari biru lembut menjadi jingga, lalu merah muda, dan akhirnya ungu keemasan. Baginya, senja bukan hanya sekadar pergantian waktu, tetapi juga sebuah kisah yang terus berulang dalam keindahan yang berbeda setiap harinya.
Namun, Vynea memiliki kebiasaan unik. Ia tidak hanya menikmati senja, tetapi juga melukisnya dengan kata-kata. Setiap warna, setiap bentuk awan, dan setiap kilauan cahaya yang ia lihat, ia tuangkan dalam buku catatannya yang sudah usang. Kata-kata itu mengalir seperti aliran sungai, lembut, mengalun, tetapi penuh makna.
Sore itu, ketika langit tampak lebih indah dari biasanya, Vynea merasakan sesuatu yang aneh. Di antara awan-awan berwarna jingga dan merah muda, ia melihat bayangan seseorang. Bayangan itu melayang, seolah menjadi bagian dari langit. Vynea mengusap matanya, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Namun, bayangan itu tetap ada, bahkan semakin jelas.
Jantungnya berdebar. Dengan ragu, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekati sungai. Riak air berkilauan, memantulkan cahaya senja yang hampir tenggelam. Bayangan itu perlahan turun, dan akhirnya, seorang lelaki muda dengan pakaian sederhana muncul di hadapannya. Wajahnya teduh, matanya berkilau seperti bintang yang baru menyala, dan senyumnya hangat, mengingatkan Vynea pada sinar matahari pagi.
“Siapa kamu?” tanya Vynea, suaranya sedikit bergetar.
Lelaki itu tersenyum lembut. “Aku adalah pelukis langit,” katanya. “Namaku Senja.”
Vynea menatapnya penuh tanya. “Pelukis langit? Apa maksudmu?”
“Aku bertugas melukis langit setiap sore,” jawab Senja. “Menciptakan gradasi warna yang membuat dunia terpana. Tetapi, ada sesuatu yang membuatku tertarik.” Ia menatap Vynea dengan dalam. “Lukisanmu. Kata-katamu membuat langitku lebih hidup.”
Vynea merasa pipinya memanas. Ia tidak pernah menyangka bahwa ada seseorang—atau mungkin makhluk lain—yang memperhatikan tulisannya. “Aku hanya menulis apa yang aku lihat,” katanya lirih.
Senja mengangguk. “Kata-katamu memiliki kekuatan. Mereka bisa menyentuh hati dan mengubah dunia. Maukah kau membantuku melukis langit malam ini?”
Mata Vynea berbinar. Ini adalah tawaran yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia mengangguk, tanpa sedikit pun keraguan. Bersama-sama, mereka duduk di tepi sungai. Senja mengangkat tangannya, dan dengan gerakan lembut, ia mulai melukis langit dengan warna-warna yang belum pernah Vynea lihat sebelumnya. Ungu tua, biru pekat, dan emas menyatu dalam harmoni yang memukau.
Vynea membuka bukunya dan mulai menulis. Setiap gerakan tangan Senja, setiap goresan warna yang muncul di cakrawala, ia terjemahkan menjadi kata-kata. Ia merasakan sesuatu yang berbeda kali ini. Kata-katanya lebih hidup, lebih dalam, seolah memiliki jiwa.
Ketika malam tiba, langit telah berubah menjadi kanvas yang luar biasa indah. Bintang-bintang berkelip lembut, bulan bersinar dengan aura keemasan. Vynea menatapnya dengan penuh kekaguman.
“Terima kasih, Vynea,” kata Senja. “Kau telah memberikan warna baru dalam hidupku.”
Vynea tersenyum. “Aku yang seharusnya berterima kasih. Ini adalah pengalaman terindah dalam hidupku.”
Sejak malam itu, Vynea dan Senja sering bertemu di tepi sungai. Mereka melukis langit bersama-sama. Kata-kata Vynea semakin indah, dan langit senja di desanya pun menjadi terkenal. Orang-orang datang dari jauh hanya untuk menyaksikan keajaiban yang mereka ciptakan.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Suatu hari, Senja tidak muncul. Vynea menunggu hingga matahari terbenam, tetapi langit tetap kosong. Tidak ada gradasi warna yang biasa ia lihat. Langit senja itu terasa datar, seolah kehilangan jiwanya.
Hatinya hancur.
Malam itu, Vynea duduk sendirian di tepi sungai, menatap langit yang gelap. Tiba-tiba, sehelai kertas kecil melayang dan mendarat di pangkuannya. Dengan tangan gemetar, ia membuka kertas itu dan membaca tulisan di dalamnya.
Vynea, terima kasih telah memberiku warna dalam hidupku. Aku harus pergi, tetapi kata-katamu akan selalu menjadi bagian dari langit. Teruslah menulis, dan jangan pernah berhenti melukis dunia dengan imajinasimu.
Vynea menutup matanya, membiarkan air mata mengalir. Ia ingin marah, ingin bertanya ke mana Senja pergi, tetapi ia tahu bahwa ini adalah bagian dari takdir. Dengan hati yang masih berat, ia mengambil bukunya dan mulai menulis lagi. Kali ini, dengan perasaan yang lebih dalam, lebih tulus.
Sejak saat itu, Vynea terus menulis. Dan setiap kali senja datang, ia akan duduk di tepi sungai, menatap langit yang bergradasi indah, lalu menuliskan kisahnya. Langit senja itu pun tetap indah, seakan di dalamnya tersimpan kisah cinta dan keajaiban yang tak akan pernah terlupakan.
Wedas raya, 4 februari, 2025
Kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Kadang, seseorang datang membawa kebahagiaan, lalu pergi meninggalkan kenangan. Namun, kehilangan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru.
Arman dan Kayunya – Ebbyyen E.
Namanya Arman. Ia dikenal sebagai ahli pembuat furnitur, seorang pengrajin yang karyanya selalu memikat hati siapa pun yang melihatnya. Setiap ukiran di kayu-kayu buatannya seolah memiliki jiwa, menyimpan kisah-kisah yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar menghargai seni. Namun, ada satu rahasia yang tak seorang pun tahu: Arman bisa berbicara dengan kayu.
Setiap batang kayu yang ia sentuh seakan berbisik padanya, menceritakan asal-usulnya—tentang hutan tempat mereka tumbuh, tentang angin yang pernah membelai daun-daunnya, dan tentang kehidupan sebelum mereka ditebang. Bagi Arman, kayu bukan sekadar bahan baku, melainkan sahabat yang berbagi kisah.
Suatu hari, saat menjelajahi hutan, Arman menemukan sebuah pohon besar yang berbeda dari yang lain. Batangnya kokoh, berwarna keemasan, dan daunnya berkilau di bawah sinar matahari. Saat ia menyentuhnya, suara lembut namun penuh kesedihan terdengar di benaknya.
“Aku sudah tua,” bisik pohon itu. “Tapi sebelum aku pergi, aku ingin kisahku dikenang.”
Arman terdiam. Ia merasa pohon itu memilihnya untuk menjadi penjaga kisahnya. Dengan hati-hati, ia menebang pohon itu, merasakan setiap serat kayunya yang seakan bergetar dalam genggamannya. Ia membawa kayu itu pulang dan mengolahnya menjadi sebuah kursi dan meja yang luar biasa indah. Kursi itu ia ukir dengan motif kehidupan hutan—ranting-ranting yang merambat, burung-burung yang terbang, dan matahari yang bersinar lembut. Sementara meja itu memiliki permukaan halus, seolah mencerminkan ketenangan pohon di masa lalu.
Setiap malam, Arman duduk di kursi itu, mendengar bisikan kayu-kayu lain, menulis cerita-cerita yang tak pernah diketahui manusia. Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Kursi itu terasa semakin berat, seolah menanggung beban yang tak kasatmata. Meja itu pun mulai retak, meski Arman merawatnya dengan penuh perhatian.
Suatu malam, suara lirih kembali terdengar, kali ini dari kursi dan meja itu sendiri.
“Kami lelah,” bisik mereka. “Kami tak ingin menjadi bagian dari dunia manusia. Kami ingin kembali ke hutan, kembali ke tanah, kembali menjadi kehidupan yang baru.”
Arman terkejut. Ia mencoba berbicara dengan mereka, mencoba meyakinkan bahwa mereka telah menjadi sesuatu yang indah, sesuatu yang akan selalu dikenang. Namun, suara mereka semakin lemah. Kursi itu perlahan kehilangan kilau keemasannya, ukirannya pudar seperti kenangan yang terlupakan. Retakan di meja semakin dalam, seakan ingin melepaskan diri dari bentuknya sekarang.
Panik, Arman berusaha memperbaiki mereka, menghaluskan kembali permukaan meja, mengukir ulang pola yang mulai menghilang. Namun, semakin ia berusaha, semakin cepat mereka hancur. Hingga suatu pagi, yang tersisa hanyalah serpihan kayu dan debu yang berserakan di lantai.
Arman terduduk lemas. Ia merasa telah kehilangan sesuatu yang berharga, bukan hanya kursi dan meja itu, tetapi juga kepercayaan dari sahabat-sahabat kayunya. Ia menyadari satu hal: ia telah memaksakan keinginannya pada mereka tanpa benar-benar mendengar keinginan mereka.
Sejak hari itu, Arman berhenti membuat furnitur. Ia kembali ke hutan, menanam pohon-pohon baru, merawat mereka dengan penuh kasih sayang, memastikan mereka tumbuh dengan damai. Ia belajar bahwa kayu bukan hanya benda mati yang bisa dibentuk sesuka hati, melainkan bagian dari kehidupan yang memiliki kehendaknya sendiri.
Namun, rasa bersalah itu tak pernah benar-benar hilang. Setiap malam, di antara desiran angin dan gemerisik dedaunan, Arman masih mendengar suara-suara dari hutan, suara yang mengingatkannya pada kursi dan meja yang pernah ia buat dan ia hancurkan.
Hingga akhir hayatnya, suara-suara itu tetap menyertainya. Dan ketika Arman akhirnya kembali ke tanah, pohon-pohon yang ia tanam seakan berbisik lembut, “Kini kau telah menjadi bagian dari kami.”
Dan begitulah kisah Arman berakhir—layu dalam bayangan kayu, namun abadi dalam bisikan angin hutan yang tak pernah berhenti bercerita.
“Setiap kayu memiliki cerita, dan setiap tangan yang membentuknya harus mendengar dengan hati.”
Panggilan Terakhir – Ebbyyen E.
Setiap malam pukul 11.59, telepon rumah tua di sudut kamar Rina selalu berdering. Bunyi deringnya nyaring, menusuk keheningan malam. Rina sudah terbiasa mengabaikannya, tapi malam ini, perasaannya tidak tenang. Ia menatap telepon tua itu, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Suara di seberang selalu sama: seorang wanita menangis, meminta tolong dengan suara parau dan putus asa. “Tolong… aku terjebak…” katanya malam demi malam. Namun, setiap kali Rina mencoba bertanya siapa dia atau di mana dia berada, sambungan itu tiba-tiba terputus, meninggalkan dengungan hampa yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Malam ini, Rina memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat gagang telepon dan menekan tombol rekam di ponselnya. “Siapa kamu? Di mana kamu? Aku akan membantumu!” suaranya sedikit bergetar, tapi ia berusaha tetap tenang.
Wanita di seberang terdiam. Rina bisa mendengar napasnya yang tersengal-sengal, lalu dengan suara berbisik, wanita itu berkata, “Di belakangmu.”
Jantung Rina seolah berhenti berdetak. Tubuhnya membeku, pikirannya berteriak untuk tidak menoleh, tapi rasa penasaran menguasainya. Dengan gerakan perlahan, ia menoleh ke cermin besar di belakangnya.
Di dalam cermin, bukan hanya pantulan dirinya yang terlihat. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun putih yang lusuh, rambut panjang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Tapi yang paling mengerikan adalah senyumnya yang terlalu lebar, dan matanya—kosong, hitam pekat, seakan menatap langsung ke jiwa Rina.
Dering telepon kembali terdengar, kali ini lebih nyaring. Gagang telepon di tangan Rina terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Lalu, sesuatu yang tak masuk akal terjadi—suara wanita itu terdengar dari dua arah sekaligus: dari telepon dan dari dalam kamarnya.
“Terima kasih sudah menjawab,” katanya, suaranya kini lebih jernih, lebih dekat.
Cermin itu tiba-tiba retak. Retakan menjalar cepat seperti sarang laba-laba, dan sebelum Rina sempat bereaksi, cermin itu pecah berkeping-keping. Ruangan seketika menjadi gelap, udara di sekitarnya menekan seperti ada sesuatu yang menghisap semua cahaya dan suara. Rina ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya.
Kegelapan menelannya.
Keesokan harinya, kamar Rina sunyi. Tidak ada suara telepon berdering, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Orang-orang mencari, tapi Rina telah menghilang tanpa jejak. Satu-satunya yang tersisa adalah cermin yang retak di kamarnya.
Dan dalam cermin itu, jika diperhatikan baik-baik, ada bayangan samar seorang gadis yang menatap keluar dengan mata kosong, terperangkap dalam keheningan yang abadi.
“Masa lalu yang tak terselesaikan akan terus mengetuk, sampai seseorang cukup berani untuk membuka pintu dan menghadapi kebenarannya.”\
Melawan Dialog Dua Dini Hari dengan Senandika Dua Siang – Devi Aviana Putri
Apa ini memang salahku? Apa selamanya Ibu takkan bisa memaafkanku?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangi pikiran Edelina sejak kepergian ibunya ke pangkuan Sang Pencipta, hampir sebulan lalu. Ia tak pernah membayangkan kehilangan ibunya secepat ini. Edelina, yang kini berusia 24 tahun, sempat berangan-angan ingin menikah dengan kehadiran kedua orang tuanya. Namun, sebelum ia menemukan tambatan hati, takdir lebih dulu menjemput sang ibu.
Bukan berarti Edelina tak bersedih. Pada malam kepergian ibunya, ia meraung, memanggil “Ibu” sambil mengguncang tubuh kaku wanita yang telah melahirkannya. Jemarinya tak mau lepas dari tangan dingin ibunya yang tak lagi merespons. Saat dokter memastikan bahwa ibunya telah tiada dan jenazahnya dibawa pulang untuk dimakamkan keesokan harinya, Edelina hanya terdiam, linglung. Tangisnya tak juga reda, dan ia bahkan tak bisa memejamkan mata hingga pagi menjelang.
Rasa bersalah terus mengusiknya. Hubungannya dengan sang ibu memang tak harmonis sebelum kepergiannya. Kedua orang tuanya kerap bertengkar, dan ibunya sering mengancam akan pergi dari rumah. Dalam pertengkaran itu, Edelina lebih memihak ayahnya, menganggap ibunya sebagai pihak yang selalu menyulut emosi. Ia pun sering menunjukkan sikap sinis kepada ibunya, bahkan sempat melontarkan kalimat yang kini ia sesali.
“Kalau mau pergi, ya pergi saja, Bu. Jangan ribet. Ibu selalu cari masalah sama Ayah. Aku pun capek lihat kalian ribut terus. Kalau Ibu pergi, mungkin rumah ini bakal jauh lebih tenang.”
Kala itu, Edelina tak menyangka ucapannya yang penuh emosi akan menjadi kata-kata terakhirnya untuk sang ibu. Beberapa hari kemudian, ibunya benar-benar pergi, untuk selamanya. Sebelum pemakaman, Edelina telah berbisik meminta maaf di telinga ibunya, tetapi ia tak tahu apakah ibunya mendengarnya. Apakah ibunya telah memaafkannya?
Sejak kepergian ibu, rumah menjadi sunyi. Baik ayah maupun Edelina menyimpan duka dalam diam. Ayahnya juga tak benar-benar merasa lebih tenang tanpa ibu. Bagaimanapun, di antara pertengkaran mereka, tentu pernah ada cinta. Edelina pun merindukan saat-saat penuh kasih yang pernah ada.
Hidupnya kini berantakan. Ia tak bersemangat melakukan apa pun, sering melamun, menangis tiba-tiba, dan menjadi lebih sensitif. Mungkin ia telah jatuh ke dalam depresi tanpa menyadarinya. Tidurnya tak nyenyak, pikirannya tak pernah tenang. Yang lebih mengganggu, hampir setiap malam Edelina dihantui mimpi buruk. Dalam mimpi-mimpinya, sang ibu selalu tampak membencinya. Ia terus mengulang kejadian di malam kepergian ibunya, bahkan dalam beberapa mimpi, ibunya seakan memaksanya ikut pergi.
Selain mimpi-mimpi itu, Edelina sering terbangun pada pukul dua dini hari. Setiap kali itu terjadi, ia tak bisa tidur lagi dan justru terperangkap dalam dialog batinnya sendiri.
Di kesunyian kamar yang redup, seakan ada duplikat dirinya yang datang dengan tatapan jahat. Mereka berbicara, hingga berujung pada perdebatan. Padahal, sejatinya hanya Edelina yang berbicara dengan dirinya sendiri.
“Kamu takkan bisa tenang seumur hidupmu!”
“Jadi, aku memang salah? Tapi, aku sudah tak membenci Ibu sekarang.”
“Lantas, apa Ibumu sudah memaafkanmu? Dia membencimu, seperti yang sering ia tunjukkan dalam mimpi-mimpimu.”
“Tidak. Seharusnya Ibu sudah tenang di sisi Tuhan sekarang.”
“Kau tetap akan jadi anak durhaka. Kenapa tidak menyusul Ibu saja?”
“Apa aku harus benar-benar menyusul Ibu?”
Dialog batin itu terus berulang setiap malam. Seolah ada suara yang ingin menjerumuskannya ke dalam keputusasaan. Setelahnya, ia hanya bisa terduduk di kamar, menangis, hingga kelelahan sendiri.
Ayahnya bukannya tak peduli. Ia sering menenangkan Edelina, meski kalimatnya tak cukup untuk mengobati luka yang terlanjur dalam.
“Sudah, jangan menangis terus. Hidup harus tetap berjalan. Kalau kangen Ibu, kirim doa saja.”
Namun, nyatanya, kata-kata itu tak mampu menghentikan pikirannya yang terus melayang tanpa arah.
Suatu hari, ayahnya meminjam ponsel Edelina untuk menelepon langganannya karena pulsa ponselnya habis. Jika bukan karena ayahnya, Edelina mungkin belum berniat mengaktifkan ponselnya setelah sebulan tak tersentuh. Saat ayahnya selesai menelepon, Edelina iseng membuka pesan-pesan yang belum terbaca.
Di antara banyaknya pesan duka cita dari teman-temannya, matanya menangkap sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Saat dibuka, isinya hanyalah tautan sebuah artikel. Entah karena penasaran atau sekadar ingin mengalihkan pikirannya, ia pun membukanya.
Psikolog kognitif dari University of Texas Austin menyebutkan bahwa menulis dapat membantu menyembuhkan luka emosional, mengurangi pemikiran negatif, dan meningkatkan kesadaran diri. Penelitian menunjukkan bahwa menulis ekspresif dapat mengurangi gejala depresi, kecemasan, dan stres.
Tepat di bawah tautan itu, ada pesan singkat dari si pengirim:
/Maaf, saya salah kirim, Kak./
Siapa sangka, dari pesan yang katanya “salah kirim” itu, Edelina justru mendapatkan dorongan baru. Ia merasa terpanggil untuk mencoba menulis. Dahulu, ia memang memiliki ketertarikan pada dunia kepenulisan, tetapi telah berhenti sejak ibunya meninggal. Kini, ia ingin mencoba lagi—menulis untuk dirinya sendiri, untuk melepaskan beban yang menghimpit dadanya.
| Mengapa begitu keterlaluannya pikiran kusut ini menjarah? Apa dunia sengaja menghukumku agar hilang arah? Bu, aku tak ingin sosokmu menjadi alasan sakitku yang tak berdarah. Aku lelah …. |
Begitulah penggalan pertama yang ia tulis dalam senandikanya. Ia menulisnya pada pukul dua siang, ketika rumah sedang sepi, saat ayahnya pergi bekerja.
“Tak ada luka yang sembuh dalam semalam, tapi sedikit demi sedikit, kita bisa membalutnya dengan harapan dan keteguhan hati.”
Semarang, 10 Februari 2025
PUISI
Cerita Pualam – Christine Natalie P. R
Pualam menoreh kakiku
Dengan dingin dan licin
Yang begitu semu
Lihatlah itu diriku
Bercermin pilu
Adakah mahluk di bawahku?
Hidupkah pualam itu?
Bukankah ia terbuat dari seonggok batu?
Nampaknya ia membisu
Dipaksa oleh hiruk pikuk
Pengunjung museum hari sabtu
Ceritakanlah kisahmu
Apakah ini yang kau mau
Menjadi ubin beku? Tidak.
Kau iri akan patung
Megah pajang dijamu
Di hadapan tamu
Sementara mereka menginjakmu
Sadarkah mereka Selama ini kau tempat berpijak?
Kuatkah dirimu?
Menahan mahluk fana
Yang menindas fana
Atau selama ini asamu sudah mati?
Makanya kau membisu?
Hening.
Jakarta, 20 Desember 2023
Aku (Tidak) Gila – Christine Natalie P. R.
Katakanlah teman,
Apakah melihat bayangan hitam di sudut ruangan Itu gila?
Bagaimana kalau aku mendengar seorang wanita tua membisikkan mantra
Gilakah juga? Oh, aku tahu! Aku tidak mungkin gila
Karena merasakan berat pada dada
Aku hanya masuk angin, bukan?
Atau kalau aku menemukan sebuah paku pada makan siangku Itu hanya kesalahan Mbah Inem kan?
Bukankah wajar kalau Bathtub-ku penuh darah
Pasti itu darah haidku
Meski aku belum datang bulan
Tentu tidak gila kalau seisi rumahku wangi bunga Kemenyan, Melati, Kamboja
Pasti itu ulah mama di kebonnya Belalah aku!
Katakanlah!
Belalah aku,
Pembaca! Katakanlah,
Hai Kamu!
Jangan diam saja,
Sialan! Aku… Tidak… Gila!
Mereka (tidak) menginginkan jiwaku!
Mereka (tidak) suka daging dan darahku!
Mereka (tidak) akan memakan ku hidup-hidup!
Benarkan?
Jakarta, 19 Desember 2023
Rumah-Rumah Abu – Christine Natalie P. R.
Wacanaku pindah ke kota anu
Karena di sini terlalu sesak bagiku
Debu dan abu melekat pada pintu
Tak ada ventilasi tuk harapanku
Aku Menatap pilu langit-langit kamarku
Bertabur bintang
Namun bukan anganku Dira …. bolehkah aku menginap di rumahmu?
Karena malam ini aku sesak kembali
Aku pengang dengan kegaduhan ini
Biarkan aku tidur di sofa ungumu
Setidaknya berisik TV tuamu lebih menghibur dibanding isi kepalaku
PRANG!!!
Obsesiku melampaui daya
Tak terbayang mengapa
Aku begitu kehilangan
Hal yang memang tidak pernah kupunya
Aku bertanya-tanya
Seperti apa memiliki keluarga
Ketika aku hanya menemukan … abu di sekitar rumahku
Abu di tiap kata-kata ayahku
Abu di tiap dinding dan keran kamar mandi
Abu di tiap mimpiku rumah-rumah abu adalah rumahku
Aku tak punya rumah Selain dukaku
PRANG!!!
Jakarta, 25 Desember 2021
Angkot Ciledug-Jombang – Marsella Geovani
Asap rokok kretek yang bertebaran menusuk hidung.
Ditemani irama mesin tua berdendang bersamaan
dengan canda tawa supir dan kekasihnya yang duduk di depan berduaan.
Mulai dari titik jemput sampai tujuan ketawa geli
sang kekasih tidak henti-hentinya nyaring,
sampai-sampai penumpang tua bermuka datar di depanku ikut geli mendengarnya.
Tak peduli dengan gurauan mesum itu,
aku hanya tetap menunggu
sambil mendengar musik berisik yang kupasang sekencang-kencangnya.
Toh itu salah satu cara untuk bahagia.
Jadi kubiarkan binar-binar kebahagiaan itu menumpuk dan pecah.
@___sella
18/01/2025
Lukisan Tulip Mekar di Dinding Kamar – Devi Aviana Putri
Ke mana arah matamu?
Jangan luput dari pandang
Kepada lukisan manis bernaung di dinding kamar
Yang terpajang bukan tanpa alasan Itu
lukisan tulip-tulip mekar
Sejatinya lebih-lebih menarik
Daripada koleksi topeng-topeng kau gantung,
untuk kau pakai ganti saban hari
Hari ini topeng di kanan
Besok topeng yang kiri
Lusa topeng di atas
Setelahnya ganti yang di bawah
Habis kau pakai,
topengnya rusak dan merusakkan dirimu
Hantaman debu dunia terlalu mengiritasi
Mau rupa asli atau tak asli,
gelagapan beradaptasi
Topeng-topeng terkapar di kamar,
berikut pemiliknya Gelita,
kamar melupa suar
Penghuni kamar memar-memar
Kamar merindu binar
Jangan terpejam!
Lukisan di dinding masih setia menengokmu
Serupa warna-warni tulip bermekaran di musim semi
Kelahiran kembalimu dinanti
Membuka musim baru
Dengan warna-warni ketulusan dan cinta
Lukisan tulip mekarmu sedang bercerita
Dengarkan dan ikuti jejaknya
Semarang, 10 Februari 2025
Katarina Ebbiena – Sapu Tangan Kenangan
Sebelah sudutnya kini koyak dan lusuh
Seiring waktu, warna memudar perlahan
Dulu, ia setia menemani langkahku
Menyerap bulir-bulir peluh dan air mata
Di atasnya, terukir inisial namamu
Sebuah tanda kasih yang takkan pernah luntur
Setiap helaian benang menyimpan cerita
Tentang janji suci yang pernah kita ukir
Kini, sapu tangan ini kuselipkan di dada
Sebagai pengingat akan hari-hari indah
Di bawah langit biru, kita pernah tertawa
Berjalan beriringan, tanpa beban dunia
Meski waktu terus berlalu dan jarak memisahkan
Kenangan kita tetap terukir dalam jiwa
Sapu tangan ini, saksi bisu cinta kita
Sebuah harta tak ternilai, abadi selamanya
UGD, 5 Januari 2024
Overthinking – Katarina Ebbiena
Tetes demi tetes, menari di kaca
Menyatu dengan air mata yang tak terbaca
Hujan rintik, membasahi jiwa yang luka
Menyiratkan sepi, dalam malam sunyi
Kini kusendiri, dalam selimut kesunyian
Hujan terus turun, membasahi kenangan
Mungkinkah kau dengar, rintihan hatiku?
Dalam derasnya hujan, kumencari arti hidupku
Ah, kesedihan ini, menyelimuti jiwa
Seolah dunia gelap, tak ada lagi cahaya
Hatiku terluka, retak, dan tak utuh
Terombang-ambing dalam lautan duka yang penuh